Kamis, 21 Mei 2009

Radar Bojonegoro




[ Kamis, 21 Mei 2009 ]

Harkitnas, 898 PNS Naik Pangkat

BLORA - Peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) kemarin (20/5) menjadi hari bahagia bagi 898 PNS di Blora. Mereka menerima kenaikan pangkat yang SK-nya diserahkan Bupati Yudhi Sancoyo di sela-sela upacara di halaman pemkab setempat.

Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Pemkab Blora Dwi Santoso menyatakan, 898 PNS yang naik pangkat itu mulai golongan I hingga golongan IV. Dengan kenaikan pangkat itu, diharapkan para PNS semakin meningkatkan kinerjanya dalam melayani masyaraat.

''Selain itu, bupati juga menyerahkan penghargaan pengabdian bagi PNS lain,'' ujar dia.

Penghargaan yang diberikan itu, kata Dwi, berupa Satya Lencara Karya Satya untuk pengabdian 20 tahun. Ada 12 PNS yang menerima penghargaan ini. Namun, seorang di antaranya tidak bisa hadir menerima penghargaan itu kemarin.

Dwi menuturkan, pada kegiatan itu juga diserahkan tali asih masing-masing Rp 1 juta bagi 146 PNS yang purna tugas. Serta uang duka bagi 28 ahli waris PNS yang meninggal dunia.''Uang duka sebanyak Rp 2,5 juta,'' tuturnya.

Usai upacara bendera, bupati dan rombongan melakukan tabur bunga di Taman Makam Pahlawan (TMP) Wira Bhakti.

Di Lamongan, upacara peringatan Harkitnas dilaksanakan di alun-alun kota setempat. Kegiatan tersebut dimeriahkan penampilan 14 penari remo. Para penari itu, mahasiswa asal Lamongan yang menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Kesenian Wiwatikta Surabaya.

''Ditampilkannya tari remo tersebut sebagai wujud kebanggaan terhadap budaya bangsa sekaligus menunjukkan hasil program beasiswa bagi mahasiswa Lamongan dari pemkab yang merupakan bagian dari semangat kebangkitan nasional,'' kata Kabag Humas dan Infokom Pemkab Lamongan Aris Wibawa kepada Radar Bojonegoro. (ono/feb)

[ Kamis, 21 Mei 2009 ]

Cerita Gemi yang 15 Tahun Merangkak Akibat Terjatuh

Banyak Berobat ke Alternatif, Belum Buahkan Hasil

Gemi, warga Desa Kalirejo, Kecamatan Banjarejo, harus rela berjalan dengan merangkak selama 15 tahun terakhir. Cacat tubuh bukan bawaan sejak lahir itu terjadi ketika dia menjadi pembantu rumah tangga.

SRI WIYONO, Blora

--------------------------------------------

Perempuan berusia 33 tahun itu duduk di tengah pintu ruang tengah rumahnya. Tatapan matanya kosong ke arah pintu rumah. Di halaman rumah itu, sejumlah anak bermain.

Perempuan itu bernama Gemi. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, dia sering duduk di pintu tersebut. Sekilas tidak ada yang berbeda pada diri perempuan ini. Secara fisk dia sama seperti saudaranya yang lain. Perbedaan itu baru kelihatan ketika dia beranjak dari duduk.

Gemi tidak bisa berdiri tegak. Sehingga, setiap hari dia berposisi jongkok. Termasuk, untuk berjalan. ''Namun, dia bisa masak, mencuci pakaian dan pekerjaan rumah lainnya,'' kata Sepon, 30, adik Gemi.

Gemi adalah anak keempat dari enam bersaudara pasangan Samijan, 70, dan Sumirah, 65. ''Kalau ditanya kejadian yang menimpanya, dia menangis,'' kata Sepon.

Menurut Samijan, anaknya itu hanya lulusan SD di desa. Karena ingin membantu orang tuanya, Gemi lalu memutuskan bekerja usai lulus SD. Bermodal hanya ijasah SD, Gemi akhirnya diterima sebagai pembantu rumah tangga di luar kota.

Majikan dia sebenarnya bukan orang jauh. Majikan itu anak dari warga Desa Banjarejo yang telah sukses di kota tersebut. Tahun pertama, Gemi bekerja dengan lancar. Memasuki tahun kedua, kecelakaan itu terjadi. ''Namun dia tidak mau menceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi. Kejadian itu 15 tahun lalu,'' kata Samijan.

Hanya, menurut dia, anaknya itu terjatuh saat digelandang pulang majikannya. Sebab, saat itu dia terlalu lama meninggalkan rumah majikannya untuk keperluan salat tarawih. Saat digelandang itulah, lanjut dia, Gemi terjatuh. Akibatnya, ada bagian tulang di punggung wanita tersebut yang patah sehingga nongol keluar.

''Cerita itu saya dapat dari teman-temanya yang di Semarang. Kalau dari majikannya, dikatakan kalau Gemi jatuh. Bahkan, saat diantar pulang ke sini, Gemi dalam kondisi sakit,'' kenangnya.

Namun, Gemi sendiri tak mau menceritakan pengalaman pahit hidupnya. Dia hanya mengatakan bahwa dirinya jatuh sendiri. ''Dia sepertinya takut untuk bicara, sehingga keluarga tidak bisa berbuat apa-apa,'' ujar Samijan.

Saat wartawan koran ini mencoba menanyakan kejadian itu, Gemi juga tak menjawab. Dia hanya mengatakan kalau jatuh. Saat ditanya lagi jatuh dari mana, dia hanya menjawab dari lantai. Setelah itu dia tak mau menjawab lagi pertanyaan wartawan koran ini.

Untuk membiayai pengobatan Gemi, Samijan sudah mengeluarkan banyak uang. Dia mengaku sudah mendatangi banyak pengobatan alternatif di Blora dan luar Kota Sate tersebut. Namun, sampai sekarang belum membuahkan hasil maksimal. ''Sampai motor saya saya jual untuk mengobatkan, namun ya tidak ada hasilnya,'' sela Sepon.

Semakin lama, penyakit Gemi semakin parah. Menurut dokter, kata Sepon, ada tulang punggung Gemi yang patah, sehingga tidak bisa berdiri tegak. Kalau dipaksakan, menimbulkan rasa sakit. Karena itulah, Gemi lebih senang jongkok hingga akhirnya keterusan sampai kakinya mengecil dan tidak mampu menopang tubuhnya untuk berdiri.

Maka, jadilah Gemi berjalan dengan jongkok sampai sekarang, meski berjalan jauh. ''Saya kasihan Mas, namun ya begitulah, kita sudah tidak habis-habisnya berusaha,'' ujarnya.

Karena berjalan jongkok, langkahnya juga tidak bisa cepat. Gemi juga pernah terjengkang karena diseruduk sapi saat dia sedang berjalan menuju WC yang ada di pekarangan rumah. Meski sudah sangat lama, keluarga masih berharap Gemi akan pulih seperti semula. ''Ya keinginan kami dia bisa pulih. Wong semula tidak apa-apa kok,'' harap Samijan diamini Sumirah. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar