Senin, 15 Februari 2010

Tabloid Asli Blora - UN BUKAN BAROMETER KELULUSAN



UN Tetap Ada, tapi Bukan Penentu Kelulusan

http://srblora.blogspot.com


Tak lama lagi Para pelajar mulai SD sampai SMA sederajat akan menjalani Ujian Negara, tapi janganlah takut karena UN bukan penentu kelulusan. Karena Kebijakan pemerintah tentang Ujian Nasional (UN) masih menjadi polemik. Akhirnya diputuskan, UN 2010 jalan terus. Bagaimana menyikapi dan mengimplementasikan di daerah?

Sejak digulirkan pada 2002, pelaksanaan UN terus menimbulkan polemik. Bahkan, pemerintah telah digugat elemen masyarakat atas nama siswa, walimurid, guru, dan pemerhati pendidikan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Juli 2006.


Tragedi demi tragedi pun terus terjadi. Korban berjatuhan. Misalnya, kasus siswa Kelas III SMPN 1 Kerjo, Karanganyar, yang gantung diri karena tidak lulus UN.


Akhirnya Mahkamah Agung (MA), pada 25 November 2009, melarang UN dan menolak kasasi yang diajukan pemerintah. Isi keputusan itu, para tergugat yakni Presiden, Wapres, Mendiknas dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai dalam pemenuhan dan perlindungan hak asasi warga yang menjadi korban UN, khususnya hak atas pendidikan dan hak-hak anak.


Putusan itu juga meminta tergugat meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah, sebelum mengeluarkan kebijakan UN lebih lanjut. Para tergugat juga diperintahkan meninjau kembali sistem pendidikan nasional


Melalui rapat kerja Komisi X DPR dengan Mendiknas M Nuh, Rabu (27/1), diputuskan UN jalan terus. Penyelenggaraan UN 2010 dipastikan tetap sesuai jadwal, dengan perbaikan dalam pelaksanaannya. UN digelar Maret 2010, dan bagi yang gagal masih ada kesempatan mengulang pada Mei.


Pakar pendidikan dari FKIP UNS, Furqon Hidayatullah dalam diskusi ini mengemukakan alasan dilaksanakan UN untuk menunggu sampai sekolah dianggap layak meluluskan siswanya. Ada anggapan selama ini guru belum bisa dipercaya.


Alasan lain untuk memudahkan pemerintah dalam melakukan standardisasi mutu, juga meningkatkan mutu lulusan.

Pemetaan kualitas


Furqon mengakui dirinya dulu getol menolak UN, tapi mengingat kondisi di daerah tadi, akhirnya mempersilakan UN jalan terus, tapi diingatkannya UN bukan untuk penentu kelulusan. UN cukup sebagai salah satu variabel pemetaan kualitas pendidikan. ”Saya setuju UN dihapuskan, tapi apakah sekolah siap melaksanakan evaluasi sendiri secara objektif?”


Para peserta diskusi pun sepakat itu, dan menuntut agar UN tidak dijadikan satu-satunya penentu kelulusan. Apalagi seperti dikatakan anggota Komisi IV DPRD Solo, Bambang Triyanto, soal-soal UN dibuat untuk mengevaluasi siswa secara kognitif.


Padahal, masih ada dua aspek lain yang juga penting yakni afektif dan psikomotoris.


Menurut Furqon, aspek afektif memang harus menjadi pertimbangan. Bahkan Furqon menekankan pentingnya peran keluarga dalam aspek ini, terutama berkaitan dengan mendidik akhlak anak. Amat disayangkan bila orangtua hanya menyerahkan begitu saja pendidikan anak kepada sekolah.


Di Jepang aspek ini penting. Dalam kunjungannya ke Jepang dan rapat bersama mantan Perdana Menteri Toshiki Kaifu, mantan perdana menteri itu tiba-tiba berdiri untuk membungkukkan badannya sebagai tanda hormat tatkala melihat seorang guru yang mendidik cucunya. Ini karena ia kenal dengan guru itu. Di sini pun dituntut orangtua siswa dan guru saling mengenal.


Dalam pengamatan Furqon, UN cenderung menumbuhkan kompetisi antarsekolah yang kurang sehat. Yang dikompetisikan bukan kemampuan riil, yakni hanya beberapa mata pelajaran, tapi digeneralisasikan untuk mewakili kemampuan atau prestasi sekolah.


UN berdampak munculnya mata pelajaran utama dan mata pelajaran kelas dua. UN juga telah menumbuhkan kecurangan baik oleh siswa, guru, kepala sekolah, orangtua, dinas pendidikan, bahkan sebagian bupati/walikota.


Justru peran orangtua mestinya memberikan pengertian kepada anak agar tidak takut yang berlebihan terhadap UN. Saat ini UN bukan satu-satunya penentu kelulusan.


Bahkan, menurut Furqon, mengkondisikan kesan menakutkan, sakral atau pun momok terhadap UN justru dapat mendorong berbuat curang, baik bagi siswa, guru, kepala sekolah, maupun orangtua.


Yang digarisbawahi dari Furqon, UN dapat dilanjutkan namun sebagai alat evaluasi untuk merumuskan kebijakan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Dengan UN juga diharapkan dapat memperoleh peta mutu hasil belajar pada enam mata pelajaran yang diujikan, sebagai dasar melakukan serangkaian perbaikan dan pembaruan.(Penulis: Drs.Ec.Agung Budi Rustanto- Redaktur tabloid Suara Rakyat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar