Senin, 04 Januari 2010

Lintas Muria -WARGA DITEMBAK MATI


04 Januari 2010

 

Seorang Warga Tewas Ditembak Orang Tak Dikenal

 

BLORA - Nasib nahas menimpa Sunandar (48), warga RT 1 RW 1, Dukuh Geneng, Desa Jetakwanger, Kecamatan Ngawen, Blora. Dia tewas ditembak oleh orang tak dikenal di sawah.

 

Luka tembak di bagian pelipis yang tembus hingga belakang kepala tersebut menyebabkan pendarahan hebat sehingga nyawanya tidak tertolong.

 

”Sunandar sempat dilarikan ke RS Dokter Seotijono dan sempat ditangani oleh dokter, tetapi nyawanya tidak bisa diselamatkan,” kata Dari Marto, kakak ipar korban.

 

Kejadian pada Sabtu (2/1) sekitar pukul 16.00 itu, menurut cerita yang berkembang, berawal ketika ada dua orang yang tampak kebingungan saat Sunandar berada di sawah bersama Rudin, anaknya, yang baru berumur 8 tahun.

 

Kedua orang tersebut kemudian mendekati Sunandar dan menanyakan jalan menuju Randualas. ”Tetapi sebelum sampai di jalan raya, di dekat sebuah got, Sunandar ditembak,” katanya dengan wajah yang menampakkan raut sedih.

 

Dalam penembakan tersebut, hanya anak Sunandar yang masih kecil yang mengetahui. Akhirnya dia berlari minta tolong kepada masyarakat sekitar. Oleh warga, korban dibawa ke rumah sakit.

Belum Teridentifikasi Sabtu malam, sekitar pukul 20.00, Kapolwil Kombes Polisi Bambang Sudarisman didampingi Kapolres Blora AKBP Isnaini Ujiarto menjenguk korban di rumah sakit. Sebelumnya, dilakukan visum atas korban oleh tim dari kepolisian.

 

Kapolres kepada wartawan membenarkan bahwa telah terjadi penembakan yang menewaskan salah seorang warga. ”Benar. Telah terjadi penembakan pada Sabtu sore, sekitar pukul 16.00,” ujarnya.

 

Orang nomor satu di jajaran Polres Blora tersebut menambahkan, pelaku diperkirakan dua orang yang kabur setelah melakukan penembakan. ”Mereka lari ke arah Purwodadi,” terangnya.

 

Sementara itu, Kapolres belum bisa memastikan apa motif penembakan dan apa jenis senjata yang digunakan pelaku. ”Saat ini masih kami selidiki. Pihak kepolisian juga akan bekerja keras untuk secepat mungkin menangkap pelaku,” tegasnya. (ros-71)




03 Januari 2010

Hutan Cepu Layak sebagai Hutan Wisata


PERNAHKAN Anda melewati hamparan hutan jati dari Jepon hingga ke Cepu? Kalau belum, cobalah anda lewat belantara hutan itu pagi hari, menikmati segarnya udara sembari melihat hijaunya daun-daun sepanjang lebih kurang 36 kilometer perjalanan. 

Meski guratan gundulnya hutan, yang, menurut penuturan beberapa warga, akibat penebangan liar dan pencurian, masih kelihatan, tetapi indahnya hutan yang bak zamrut itu, tak terbantahkan. 

Sejauh mata memandang, dari Kecamatan Jepon, Jiken, Sambong hingga Cepu, lebatnya hutan jati memberikan keteduhan dan kenyamanan. Tentu saja, ini membawa konsekuensi, jangan sampai ada lagi penjarahan serta penebangan liar di hutan di satu sisi, dan menghijaukan kembali dengan reboi-sasi pada sisi yang lain.

Artinya, penjarahan, pencurian serta penebangan liar hutan, tetap menjadi sebuah persoalan dan kesalahan masa lalu yang tidak boleh diulang. Ini harus dicamkan, untuk menjaga hutan agar tetap indah rupawan.

Tak heran, jika setiap melewati hamparan hijau hutan tersebut, tak sedikit orang yang menyempatkan diri berhenti, untuk sekadar memberikan kesempatan mata ‘berwisata’, memandang rimbunnya dedaunan dan lebatnya pohon dalam hutan.

Sayang, tidak ada tempat dalam hutan yang representatif dan nyaman untuk mereka, agar bercengkrama dengan alam. Hanya warung-warung yang kurang tertata, dan tidak ada pembinaan. Sehingga kesan yang muncul, warung yang ada tak ubahnya PKL pada umumnya. 

Padahal dengan panorama alam yang ada, jika warung tersebut ditata sedemikian rupa, dan pemerintah mau menata ruang dan menyediakan ruang peristirahatan atau disetting menjadi sebuah taman hutan, pasti akan menarik para pengguna jalan untuk berlama-lama, menikmati indahnya hutan jati tersebut. 

Menggagas Ekoturisme

Ekoturisme adalah salah satu agenda serius pengembangan pariwisata Indonesia. Yaitu model pariwisata yang tidak sekadar ramah lingkungan, tetapi sekaligus berbasis budaya serta memberikan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat setempat.

Blora, memiliki hutan jati yang sangat luas. Ini didukung dengan budaya masyarakat pinggiran yang sangat dikenal, di antaranya barongan Blora dan tayub. 

Dengan itu, Blora sebenarnya memiliki kesempatan emas memberdayakan ekonomi masyarakat, dengan membuka kawasan wisata hutan, yang nantinya, akan meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan membuka area kuliner di sekitar kawasan wisata hitan yang dibuat. 

Pengunjung yang datang, bisa disuguhi dengan berbagai atraksi dari kekayaan budaya yang ada. Sehingga, sembari menonton atraksi yang dipersembahkan, para pengunjung bisa menikmati sate, lontong, atau makanan khas lain yang ada di Blora. 

Dari sinilah, gagasan ekoturisme di Blora, sebenarnya adalah hal yang tidak ngoyoworo, karena sudah didukung dengan berbagai perangkat, yaitu potensi alam serta budaya yang ada. 

Dengan ekoturisme, ada banyak keuntungan yang akan didapat. Di antaranya terjaganya kelestarian kawasan lingkungan hutan wisata. Pemerintah pun, bisa mendapatkan pendapatan dari hasil retribusi pengunjung. 

Selain itu, dengan ekoturisme, secara tidak langsung juga membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar, dengan membuka kawasan kuliner di sekitar kawasan hutan wisata tersebut. Tetapi tentunya, ini terpulang kepada pemerintah daerah setempat, apakah berani merealisasikan gagasan ini atau tidak? (Rosidi-50)



Tabloid Asli Blora


Persoalan APBD sebuah Dilema Klasik

   

 

Dalam bulan-bulan ini, pemerintah daerah (Pemda) disibukkan oleh penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2010. Ada fenomena menarik terkait proses penyusunan APBD tersebut.

   

Fenomena ini sebenarnya bukan masalah baru. Tapi masalah klasik yang dari tahun ke tahun seringkali berulang. Karena sebagai suatu masalah dan berpotensi merugikan masyarakat, maka seharusnya menjadi perhatian bersama, terutama bagi Pemda.

   

Beberapa permasalahan yang mengiringi proses penyusunan APBD itu adalah : pertama, waktu penyusunan yang molor. Setiap tahun dijumpai daerah yang lamban dalam menyusun anggaran keuangan pemerintahannya.

   

Sebagai contoh, rancangan KUA dan PPAS melebihi waktu dari jadwal yang seharusnya disampaikan kepala daerah kepada DPRD yakni pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan. Demikian pula, draf RAPBD yang semestinya sudah harus diserahkan ke DPRD pada pekan pertama Oktober untuk dibahas, kenyataannya biasa molor yang akhirnya penetapannya juga molor.

   

Pada tahun lalu, sejumlah kabupaten/kota di Jateng diperingatkan Gubernur karena terlambat menyerahkan RAPBD 2009 ke Pemprov untuk dievaluasi. Termasuk didalamnya kab Blora.

   

Padahal, keterlambatan penyusunan APBD jelas merugikan masyarakat. Masyarakat yang semestinya sudah menerima anggaran pembangunan atau pelayanan publik terpaksa harus tertunda menunggu selesainya penetapan APBD.

   

Selain itu, Dana Alokasi Umum (DAU) daerah yang terlambat menetapkan APBD juga akan dipotong 25% oleh pemerintah pusat.

   

Dari sudut pandang perencanaan, keterlambatan penyusunan APBD merupakan sesuatu yang kurang masuk akal. Logikanya, bagaimana mungkin pemerintahan bisa berjalan tanpa ada acuan APBD?

   

APBD yang seharusnya sudah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan atau paling lambat tanggal 31 Desember, kenyataannya tak sedikit yang molor hingga berbulan-bulan.

   

Seperti yang terjadi Di Blora, penetapan APBD tahun 2009 layak sebagai pengalaman karena merupakan rangking 1 paling buncit di Jateng. Bahkan Bupati Blora, Yudhi Sancoyo mengaku sudah beberapa kali disuruh berdiri pada MUSRENBANGNAS dihadapan Mentri dan Gubenur Bupati dan Walikota yang hadir disitu karena keterlambatanya.pengesahan APBD.

   

Sekarang timbul pertanyaan dari penulis “AkankahYudhi Sancoyo berdiri lagi pada Musrenbangnas tahun depan dan Mungkinkah janji ketua DPRD Blora HM Kusnanto akan menetapkan APBD awal tahun 2010 terwujud,”

   

Selama APBD belum ditetapkan, daerah-daerah tersebut berjalan berpedoman pada apa? Secara de jure maupun formal administratif, landasan daerah yang terlambat menetapkan APBD itu bisa dikatakan lemah.

   

Kemungkinan molornya waktu penetapan APBD 2010 amat besar disebabkan Pertama adalah pelantikan anggota DPRD periode 2009-2014 baru dilaksanakan pada sekitar Agustus lalu. Dasar hukum penyusunan tata tertib dan alat kelengkapan DPRD juga terlambat terbit, sehingga berdampak pada terlambatnya pembahasan RAPBD.

   

Masalah kedua, persoalan anggaran yang tekor atau defisit anggaran. Defisit anggaran terjadi karena anggaran pendapatan pemerintah tidak mampu menutup anggaran belanjanya.

   

Daerah yang mengalami defisit anggaran bisa jadi secara faktual memang tidak mampu menutup besarnya pengeluaran belanja daerah. Ada kemungkinan pula kondisi defisit tersebut “direkayasa” sebagai sarana untuk menekan pemerintah pusat agar menambah dana perimbangan atau dana kontingensi.

   

Tidak mudah menyusun APBD yang benar-benar bebas dari defisit ketika paradigma “besar pasak daripada tiang” dan terlalu menggantungkan bantuan dari eksternal masih menjadi pedoman dalam penyusunannya. Kenyataannya, daerah masih amat tergantung kepada sumber pembiayaan dari pemerintah pusat. Terbukti, sebagian besar penerimaan daerah berasal dari DAU dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Ketergantungan Pemda terhadap pusat menyebabkan kreativitas daerah terkadang terhambat.

   

Ketiga, minimnya semangat efisiensi. Berhubungan dengan persoalan defisit anggaran, pemerintahan yang terlalu boros akan cenderung menciptakan defisit.

 

Di Permendagri No 25/2009 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2010 juga telah disebutkan guna mencapai sasaran pembangunan, dalam penyusunan program dan kegiatan daerah wajib menerapkan prinsip-prinsip efisiensi.

   

Bahkan Ketua PWI Pokja II Jateng Wohono terang-terangan mengatakan Menurut Wahono saat ini yang paling tepat adalah Bupati segera merombak SKPD yang telah ada saat ini.

   

Alasanya SKPD yang ada dan telah ditetapkan dengan Perda SOTK pada awal tahun lalu, terlalu boros dengan perda.

   

“Sebagai contoh antara Bagian Humas Setda dan Dinas Kominfo tumpang tindih dalam alokasi anggaranya. Semua beli tustel, beli mobil, cetak foto dan lainya ,” kata Wahono.

   

Dia juga menambahkan, kenyataan seperti ini juga dialami 35 kabupaten/kota di Jawa tengah. Untuk itulah Blora yang salami ini terkenal dengan predikat molornya APBD, hendaknya membuat gebrakan penghematan anggaran.

   

Perjalanan dinas dan studi banding agar dibatasi frekuensi dan jumlah pesertanya serta dilakukan sesuai dengan substansi kebijakan yang sedang dirumuskan, yang hasilnya dilaporkan secara transparan dan akuntabel. Bahkan ditentukan pula pembatasan penganggaran untuk penyelenggaraan rapat-rapat yang dilaksanakan di luar kantor, workshop, seminar dan lokakarya.

   

Namun, kepatuhan terhadap aturan tertulis tersebut tampaknya masih jauh dari harapan. Lihat saja, tidak sedikit daerah yang justru melakukan pembahasan RAPBD-nya di luar daerah.

   

Mungkin anggaran yang dibutuhkan untuk membiayainya relatif kecil dibanding angka-angka yang dibahas, tapi bagaimana dengan semangat efisiensinya? Kurangnya sense of crisis Pemda juga terlihat dari tidak pekanya mereka atas kondisi masyarakat dan kondisi keuangan daerah.

   

Sungguh ironis, meskipun masih banyak masyarakat yang terhimpit kesusahan ekonomi dan kondisi keuangan daerah yang terbatas, di beberapa daerah justru berencana memborong mobil dinas hingga miliaran rupiah.

   

Daerah semestinya memahami dan menempatkan prioritas pengalokasian anggarannya dengan tepat. Sebagaimana arahan Permendagri No 25/2009, masalah dan tantangan utama yang harus dipecahkan dan dihadapi pada tahun 2010. Di antaranya adalah upaya untuk menanggulangi kemiskinan, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, serta meningkatkan kualitas kesehatan.

 

Di bidang pendidikan misalnya, Pemda secara konsisten dan berkesinambungan perlu mengupayakan pengalokasian anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari belanja daerah.

   

Persoalan seputar penyusunan APBD yang keempat ialah kurang berpihaknya anggaran pemerintah kepada publik. Hampir semua APBD di Indonesia anggarannya mayoritas dialokasikan guna memenuhi belanja pegawai. Seperti untuk membayar gaji, tunjangan, honor dan uang lembur.

   

Biaya untuk belanja barang/jasa, perjalanan dinas, dan pemeliharaan gedung/kendaraan semakin memperbesar kebutuhan anggaran untuk pegawai. Belanja pegawai yang menyedot biaya besar berdampak pada kecilnya anggaran untuk publik. Kebanyakan daerah lebih dari 75% anggarannya digunakan dalam rangka membiayai internal birokrasi, sedangkan anggaran untuk pembangunan dan pelayanan publik relatif terbatas.

   

Seberapa jauh anggaran pemerintah berpihak pada publik, bisa diamati dari bagaimana pelayanan publik; seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur; diselenggarakan pemerintah.

   

Keempat persoalan seputar penyusunan APBD di atas seharusnya tidak sampai terjadi, atau paling tidak dapat direduksi, seandainya dalam penyusunan APBD memperhatikan prinsip penyusunan APBD yang sudah digariskan (ada partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran, keadilan anggaran, dan taat asas), serta patuh pada kaidah penganggaran sektor publik yang berlaku (legitimasi hukum, legitimasi finansial, dan legitimasi politik).

   

Meskipun penyusunan APBD rentan dengan berbagai kepentingan politik, namun aturan-aturan formal tetap harus dijadikan landasan, terutama prinsip dan kaidah normatifnya. Jika hal ini sungguh-sungguh dipedomani oleh eksekutif dan legislatif, niscaya APBD menjadi “alat intervensi” negara dalam mensejahterakan masyarakat, dan bukan justru menjadi sumber masalah. Selamat bekerja Pak Kusanato dan Seluruh anggota DPRD, Buktikan janjimu bahwa Penetapan APBD Blota tahun 2010 akan ditetapkan awal tahun depan. (Penulis Drs Ec. Agung Budi Rustanto Redaktur tabloid Suara Rakyat)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar