Sabtu, 01 Agustus 2009

Pesisir Timur - SANKSI HUKUM PENAMBANG



Saturday, 01 August 2009

Sanksi penambang pasir bermesin tidak tegas


BLORA - Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Blora Slamet Wiryanto mengakui, lemahnya sanksi yang ada dalam peraturan daerah (perda) yang mengatur sanksi untuk penambang pasir dengan menggunakan mesin sangat lemah.


Pasalnya, setelah dilakukan operasi, pemilik mesin penyedot pasir yang beroperasi cukup membayar denda yang hanya Rp 50.000.


”Selama ini sanksi dalam perda sangat ringan dan tidak membuat jera mereka,” katanya, kemarin.


Menurut mantan camat Cepu ini, perda yang digunakan dasar setiap pelaksanaan operasi mengacu pada Perda Kabupaten Blora No 2 Tahun 1998 tentang Pajak Galian Golongan C, dan Perda Provinsi No 4/1994 tentang Pajak Galian Golongan C.


”Akibatnya setelah dioperasi, mereka kembali lagi melakukan penambangan dengan mesin,” ujar Slamet Wiryanto.


Sanksi tergas sebenarnya ada, dengan mengacu pada UU Lingkungan Hidup, namun kalau menggunakan itu proses yang dibutuhkan terlalu panjang dan bisa menguras energi pemkab.


”Itulah salah satu kendala yang kami alami,” katanya.

Pihaknya, pernah melakukan pembicaraan dengan Pemkab Bojonegoro soal penanganan terhadap mesin penyedot air.


Di sana diberlakukan sangat keras, bahkan setiap melakukan operasi, barang bukti yang disita langsung dihancurkan.


”Di Bojonegoro bahkan saat operasi dan menemukan barang bukti langsung dikepruki, sehingga membuat mereka jera,” kata Slamet Wiryanto.


Untuk itu, dia pernah mengungkapkan permasalahan itu kepada pihak Polres agar bisa melakukann langkah seperti yang dilakukan oleh Bojonegoro. Namun hal itu tidak diizinkan oleh Polres, dengan alasan Blora harus melaksanakannya sesuai dengan aturan yang ada.

Revisi perda


Terpisah, Direktur LSM Blora Crisis Center (BCC) Blora, Amin Faried mengatakan, lemahnya saksi dalam perda memang patut disayangkan karena memang tidak ada efek jera terhadap pelaku yang nyata-nyata merusak lingkungan di sekitarnya.


”Solusinya perda tersebut harus dilakukan revisi. Terlebih perda dibuat pada tahun 1998, jelas sudah ketinggalan, harus diusulkan lagi dengan sanksi yang tegas, kalau perlu pidana,” katanya. K.9-ip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar