[ Rabu, 21 April 2010 ]
Usai Sidang PK, Tiga Mantan
Wakil Ketua DPRD Dieksekusi
BLORA - Tiga mantan wakil ketua DPRD Blora periode 1999-2004 akhirnya dieksekusi kejaksaan negeri (kejari) setempat. Mereka menjadi terpidana kasus korupsi sekitar Rp 2 miliar dana purnabhakti di pos anggaran DPRD tahun 2003. Ketiganya, Haryono, Rofii Hasan, dan Abdul Ghoni.
Tiga terpidana itu dieksekusi setelah menghadiri sidang penyampaian peninjauan kembali (PK) atas kasus tersebut di pengadilan negeri (PN) setempat. Tiga mantan wakil rakyat dari partai berbeda itu datang ke PN didampingi penasihat hukum Sumarso dan sejumlah anggota keluarganya.
Bahkan, pengurus DPD Partai Golkar Blora, mantan pengurus dan mantan anggota dewan dari partai tersebut ikut mengantarkan Haryono ke PN. Mereka memberikan support kepada pria saat ini menjabat ketua harian DPD Partai Golkar Blora tersebut. Haryono dan Abdul Ghoni datang ke PN diantar keluarganya menggunakan mobil.
Sementara Rofii Hasan datang ke PN diangkut dengan ambulans K 3508 FN milik rumah sakit di Cepu. Mantan anggota DPRD dari PKB ini sedang dalam perawatan karena sakit jantung yang dideritanya. Sejak kasus itu disidangkan sekitar empat tahun lalu, Rofii memang sering sakit. Bahkan, dia pernah pingsan saat persidangan di PN. Karena kedatangan dia sangat penting untuk tanda tangan berita acara pengajuan PK, Rofii memaksakan hadir.
Kasi Pidsus Kejari Blora Fitroh Rohcahyanto mengatakan, Haryono cs dimasukkan dalam rumah tahanan negara (rutan) setempat. Hal sesuai putusan MA yang menghukum mereka lima tahun penjara. Sebelumnya, kejari sudah koordinasi dengan Sumarno. Kemunculan tiga terpidana di PN langsung dimanfaatkan untuk eksekusi. Tak ada perlawanan dalam eksekusi tersebut. ''Kita selalu koordinasi, bahwa yang kami lakukan ini hanya melaksanakan putusan MA,'' katanya.
Setelah semua administrasi beres, Haryono dan Abdul Ghoni diangkut menggunakan kendaraan tahanan milik kejaksan K 356 E. Sedangkan Rofii masih harus menjalani perawatan lagi.
Sementara itu, Sumarso mengatakan, sejak awal dia sudah mengatakan akan mendatangkan Haryono cs. Tiga kliennya bisa menerima eksekusi itu karena memang harus dilakukan. Sumarso mengaku tidak memermasalahkan eksekusi tersebut. Namun, dia juga tetap melanjutkan proses pengajuan PK yang sudah dilakukan. ''Kami akan berusaha meraih keadilan,'' imbuhnya.
Dia optimistis PK yang diajukan akan diterima. Sumarso mencontohkan salah satu pengajuan PK yang berhasil di DPRD Padang. Saat itu, dari 45 anggota DPRD yang berperkara, hanya sepuluh anggota DPRD yang dihukum. Mereka lalu mengajukan PK dan akhirnya berhasil. Proses PK itu, menurut perkiraan dia, maksimal satu tahun sudah putus. ''Lamanya bervariasi, saya pernah menangani dalam waktu lima bulan hasil PK keluar. Saya kira tidak lebih dari satu tahun. Dan saya yakin bebas,'' tuturnya.
Dalam sidang kedua pengajuan PK kemarin, tak hanya dihadiri Haryono, Rofii Hasan, Abdul Ghoni dan penasihat hukumnya Sumarso. Juga, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Fitroh Rohcahyanto dan Farida Hartati. Sidang itu dipimpin Ketua Majelis Hakim Zainuri didampingi hakim anggota Aminuddin dan Joko Saptono serta panitera pengganti Didik Riyadi.
Sidang berjalan sekitar satu jam. Haryono datang dengan kemeja lengan panjang biru muda dan celana panjang gelap serta bersepatu. Sedangkan Abdul Ghoni mengenakan baju lengan panjang krem dan bercelana gelap serta bersepatu. Sementara Rofii Hasan yang datang dalam kondisi sakit, memakai kaus berkerah biru tua dan celana gelap serta bersandal jepit merah. Dia harus dipapah petugas PN dan keluarganya saat turun dari ambulans dan masuk ke ruangan sidang.
Tak lebih dari 15 menit Rofii di ruangan sidang. Setelah itu ketua majelis hakim memerintahkan untuk dikembalikan ke ambulans yang bersiaga di depan ruangan sidang. ''Dikembalikan ke ambulans saja. Di situ saja dulu sambil menunggu penandatanganan berita acara,'' ujar Zainuri.
Perintah mengembalikan Rofii ke ambulans itu dilakukan hakim saat Sumarso membacakan memori pengajuan PK. Dalam memori PK-nya, Sumarso meminta agar putusan MA yang menghukum tiga kliennya dengan hukuman lima tahun penjara, denda Rp 200 juta dan membayar uang pengganti Rp 1,5 miliar itu dibatalkan. Alasannya, dalam kasus yang sama, putusan bagi mantan Ketua DPRD Warsit dinyatakan bebas.
''Kami memohon MA mengadili kembali dan memutuskan bahwa tuntutan jaksa terbukti namun bukan pidana,'' kata Sumarso.
Selain itu, dia meminta agar barang bukti berupa uang pengembalian dikembalikan kepada yang berhak. Di antaranya, para terpidana. Uang barang bukti pada kasus ini hampir Rp 200 juta. Itu adalah uang yang dikembalikan para terpidana melalui kejari setempat. ''Serta MA mengembalikan harkat dan martabatnya,'' tuturnya.
Sementara Fitroh Rohcahyanto saat menanggapi memori PK itu menyatakan kalau apa yang diputuskan MA itu sudah tepat. Dia menganggap Sumarso tidak cermat dalam menilai putusan. Sebab, faktanya putusan bagi Haryono cs turun lebih (31 Maret 2008), sedang putusan Warsit terbit belakangan (28 April 2008). ''Jadi tidak ada alasan untuk mempersoalkan putusan itu,'' katanya.
Dalam putusan MA, kata Fitroh, majelis hakim tidak memersoalkan adanya perda yang menyatakan kalau anggaran purnabhakti sah sesuai perda. Karena itu, dia menilai tetap ada kerugian negara dalam anggaran tersebut. ''Sehingga kami menolak alasan itu,'' katanya.
Atas penyampaian memori PK dan tanggapan tersebut, majelis hakim akan menilai dan mempertimbangkan. Selanjutnya, hasil penilain hakim itu akan dikirim ke MA. ''Tapi hasil penilaian kami ini tidak dibacakan. Itu rahasia dan akan langsung kami kirim ke MA,'' kata Zainuri.
Sidang itu sempat diskors sepuluh menit untuk membuat berita acara pengajuan PK. Setelah itu, Haryono dan Abdul Ghoni menandatangani berita acara di hadapan majelis hakim. Sedangkan Rofii menandatangani di dalam ambulans. Panitera pengganti Didik Riyadi yang mendatangi Rofii untuk minta tanda tangan.
Baru setelah itu, Haryono dan Abdul Ghoni dieksekusi kejari. Seperti diberitakan, putusan MA menghukum Haryono cs lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta serta membayar uang pengganti Rp 1,5 miliar secara tanggung renteng. Haryono cs lalu tiga kali dipanggil kejari. Namun, mereka selalu mangkir. Karena itu, tiga mantan anggota dewan tersebut ditetapkan sebagai daftar pencarian orang. (ono/yan)
BLORA - Tiga mantan wakil ketua DPRD Blora periode 1999-2004 akhirnya dieksekusi kejaksaan negeri (kejari) setempat. Mereka menjadi terpidana kasus korupsi sekitar Rp 2 miliar dana purnabhakti di pos anggaran DPRD tahun 2003. Ketiganya, Haryono, Rofii Hasan, dan Abdul Ghoni.
Tiga terpidana itu dieksekusi setelah menghadiri sidang penyampaian peninjauan kembali (PK) atas kasus tersebut di pengadilan negeri (PN) setempat. Tiga mantan wakil rakyat dari partai berbeda itu datang ke PN didampingi penasihat hukum Sumarso dan sejumlah anggota keluarganya.
Bahkan, pengurus DPD Partai Golkar Blora, mantan pengurus dan mantan anggota dewan dari partai tersebut ikut mengantarkan Haryono ke PN. Mereka memberikan support kepada pria saat ini menjabat ketua harian DPD Partai Golkar Blora tersebut. Haryono dan Abdul Ghoni datang ke PN diantar keluarganya menggunakan mobil.
Sementara Rofii Hasan datang ke PN diangkut dengan ambulans K 3508 FN milik rumah sakit di Cepu. Mantan anggota DPRD dari PKB ini sedang dalam perawatan karena sakit jantung yang dideritanya. Sejak kasus itu disidangkan sekitar empat tahun lalu, Rofii memang sering sakit. Bahkan, dia pernah pingsan saat persidangan di PN. Karena kedatangan dia sangat penting untuk tanda tangan berita acara pengajuan PK, Rofii memaksakan hadir.
Kasi Pidsus Kejari Blora Fitroh Rohcahyanto mengatakan, Haryono cs dimasukkan dalam rumah tahanan negara (rutan) setempat. Hal sesuai putusan MA yang menghukum mereka lima tahun penjara. Sebelumnya, kejari sudah koordinasi dengan Sumarno. Kemunculan tiga terpidana di PN langsung dimanfaatkan untuk eksekusi. Tak ada perlawanan dalam eksekusi tersebut. ''Kita selalu koordinasi, bahwa yang kami lakukan ini hanya melaksanakan putusan MA,'' katanya.
Setelah semua administrasi beres, Haryono dan Abdul Ghoni diangkut menggunakan kendaraan tahanan milik kejaksan K 356 E. Sedangkan Rofii masih harus menjalani perawatan lagi.
Sementara itu, Sumarso mengatakan, sejak awal dia sudah mengatakan akan mendatangkan Haryono cs. Tiga kliennya bisa menerima eksekusi itu karena memang harus dilakukan. Sumarso mengaku tidak memermasalahkan eksekusi tersebut. Namun, dia juga tetap melanjutkan proses pengajuan PK yang sudah dilakukan. ''Kami akan berusaha meraih keadilan,'' imbuhnya.
Dia optimistis PK yang diajukan akan diterima. Sumarso mencontohkan salah satu pengajuan PK yang berhasil di DPRD Padang. Saat itu, dari 45 anggota DPRD yang berperkara, hanya sepuluh anggota DPRD yang dihukum. Mereka lalu mengajukan PK dan akhirnya berhasil. Proses PK itu, menurut perkiraan dia, maksimal satu tahun sudah putus. ''Lamanya bervariasi, saya pernah menangani dalam waktu lima bulan hasil PK keluar. Saya kira tidak lebih dari satu tahun. Dan saya yakin bebas,'' tuturnya.
Dalam sidang kedua pengajuan PK kemarin, tak hanya dihadiri Haryono, Rofii Hasan, Abdul Ghoni dan penasihat hukumnya Sumarso. Juga, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Fitroh Rohcahyanto dan Farida Hartati. Sidang itu dipimpin Ketua Majelis Hakim Zainuri didampingi hakim anggota Aminuddin dan Joko Saptono serta panitera pengganti Didik Riyadi.
Sidang berjalan sekitar satu jam. Haryono datang dengan kemeja lengan panjang biru muda dan celana panjang gelap serta bersepatu. Sedangkan Abdul Ghoni mengenakan baju lengan panjang krem dan bercelana gelap serta bersepatu. Sementara Rofii Hasan yang datang dalam kondisi sakit, memakai kaus berkerah biru tua dan celana gelap serta bersandal jepit merah. Dia harus dipapah petugas PN dan keluarganya saat turun dari ambulans dan masuk ke ruangan sidang.
Tak lebih dari 15 menit Rofii di ruangan sidang. Setelah itu ketua majelis hakim memerintahkan untuk dikembalikan ke ambulans yang bersiaga di depan ruangan sidang. ''Dikembalikan ke ambulans saja. Di situ saja dulu sambil menunggu penandatanganan berita acara,'' ujar Zainuri.
Perintah mengembalikan Rofii ke ambulans itu dilakukan hakim saat Sumarso membacakan memori pengajuan PK. Dalam memori PK-nya, Sumarso meminta agar putusan MA yang menghukum tiga kliennya dengan hukuman lima tahun penjara, denda Rp 200 juta dan membayar uang pengganti Rp 1,5 miliar itu dibatalkan. Alasannya, dalam kasus yang sama, putusan bagi mantan Ketua DPRD Warsit dinyatakan bebas.
''Kami memohon MA mengadili kembali dan memutuskan bahwa tuntutan jaksa terbukti namun bukan pidana,'' kata Sumarso.
Selain itu, dia meminta agar barang bukti berupa uang pengembalian dikembalikan kepada yang berhak. Di antaranya, para terpidana. Uang barang bukti pada kasus ini hampir Rp 200 juta. Itu adalah uang yang dikembalikan para terpidana melalui kejari setempat. ''Serta MA mengembalikan harkat dan martabatnya,'' tuturnya.
Sementara Fitroh Rohcahyanto saat menanggapi memori PK itu menyatakan kalau apa yang diputuskan MA itu sudah tepat. Dia menganggap Sumarso tidak cermat dalam menilai putusan. Sebab, faktanya putusan bagi Haryono cs turun lebih (31 Maret 2008), sedang putusan Warsit terbit belakangan (28 April 2008). ''Jadi tidak ada alasan untuk mempersoalkan putusan itu,'' katanya.
Dalam putusan MA, kata Fitroh, majelis hakim tidak memersoalkan adanya perda yang menyatakan kalau anggaran purnabhakti sah sesuai perda. Karena itu, dia menilai tetap ada kerugian negara dalam anggaran tersebut. ''Sehingga kami menolak alasan itu,'' katanya.
Atas penyampaian memori PK dan tanggapan tersebut, majelis hakim akan menilai dan mempertimbangkan. Selanjutnya, hasil penilain hakim itu akan dikirim ke MA. ''Tapi hasil penilaian kami ini tidak dibacakan. Itu rahasia dan akan langsung kami kirim ke MA,'' kata Zainuri.
Sidang itu sempat diskors sepuluh menit untuk membuat berita acara pengajuan PK. Setelah itu, Haryono dan Abdul Ghoni menandatangani berita acara di hadapan majelis hakim. Sedangkan Rofii menandatangani di dalam ambulans. Panitera pengganti Didik Riyadi yang mendatangi Rofii untuk minta tanda tangan.
Baru setelah itu, Haryono dan Abdul Ghoni dieksekusi kejari. Seperti diberitakan, putusan MA menghukum Haryono cs lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta serta membayar uang pengganti Rp 1,5 miliar secara tanggung renteng. Haryono cs lalu tiga kali dipanggil kejari. Namun, mereka selalu mangkir. Karena itu, tiga mantan anggota dewan tersebut ditetapkan sebagai daftar pencarian orang. (ono/yan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar