Kulanuwon
“KORPRI” = Korupsi Pejabat Republik
Masyarakat saat ini sibuk membaca atau mengemati kasus korupsi yang melanda para pejabat atau petinggi Republik yang kita cintai ini.
Terlebih setelah muncul kasus yang melibatkan para pejabat baik di KPK ataupun Kepolisian
Tidak dapat dipungkiri sejak adanya KPK ratusan para pejabat yang bermasalah terkait kasus korupsi. Sehingga muncul plesetan dikalangan masyarakat yang membuat para anggota PNS membenarkan istilah ini.
“KORPRI” disingkat dengan Korupsi Pegawai Republik
Mana yang benar kedua plesetan itu, menurut penulis semuanya benar.
Kita harusnya syok saat rekaman pembicaraan Anggodo dan sejumlah petinggi hukum negeri ini dibuka, karena diduga mengkriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah serta bagaimana pengaturan perkara.
Uang, sebagaimana terungkap dalam rekaman yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK), jelas banyak bicara. Sungguh busuk sejumlah oknum lembaga hukum ini.
Dari
Sungguh koruptif peradilan negeri ini. Lembaga dan aparat hukum negeri ini sungguh bobrok! Bukankah ikan membusuk dari kepalanya?
Markus atau mafia peradilan disebut-sebut berperan aktif dalam proses peradilan di negeri ini. Mereka antara lain ikut menentukan hakim yang bakal memimpin sidang; memperlambat atau mempercepat proses peradilan; mengatur berat-ringannya putusan; mendorong terciptanya keputusan-keputusan palsu dan lain sebagainya.
Melalui Markus, aparat penegak hukum (apakah itu jaksa, hakim atau polisi) sering secara diam-diam menemui pesakitan atau keluarganya (tersangka atau terdakwa) untuk mengatur proses peradilan.
Oleh karena itu, menurut hemat saya sebagi penulis asli Blora, pembukaan rekaman oleh MK seyogianya dijadikan titik anjak untuk mereformasi lembaga penegakan hukum—agar penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi benar-benar terlaksana sebagai amanat reformasi.
Pertama, seluruh elemen masyarakat, bersama pers yang berwibawa dan kredibel, terus menggulirkan gerakan moral penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi, serta mencermati dan melawannya segala upaya pelemahan dan penyalahgunaan kekuasaan yang menurunkan derajat penegakan supremasi hukum.
Kedua, penyempurnaan landasan hukum lembaga peradilan perlu dilakukan. Intinya lembaga peradilan yang independen dan akuntabel harus dikuatkan—bukan malah saling melemahkan. Oleh karena itu, agar sistem peradilan bisa independen dan akuntabel perlu ditopang lembaga pengawas terhadap penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Kompolnas dan lainnya.
Ketiga, perlunya keberanian pemberantasan korupsi, praktek Markus dan mafia peradilan di lingkungan peradilan. Pelaku korupsi di lembaga peradilan dan aparat penegak hukum hingga kini sudah diketahui masyarakat. Artinya, jika aparat hukum kedapatan korupsi harus dihukum yang lebih berat.
Keempat, perlu gerakan politik untuk mendorong pemberantasan Markus dan mafia peradilan, sebagaimana dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai prioritas pertama dalam 100 hari kepemimpinannya. Mundurnya Kabareskrim Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung bukan berarti upaya pembabatan pejabat korup berhenti.
Kemudian, semua kasus yang masuk ke proses peradilan sebaiknya bisa diakses oleh publik—sebagai upaya untuk meminimalisasi kemungkinan praktik menyimpang atau pelemahan penegakan supremasi hukum.
Kita harus berani melawan mafia peradilan. Termasuk juga diwilayah kerja penulis yang saat ini sedang hangat-hangatnya kursi kapolres Blora yang Baru. “Selamat bertugas di Blora Bapak AKBP Isnaeni Ujianto, semoga dapat memberikan citra terbaik dalam penegakan hukum di Blora”. (Penulis : Drs/Ec.Agung Budi Rustanto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar