Perajin
Mbah Bibit dan Udeng Generasi Baru Pembatik Blora
Mbah Bibit dan Udeng Generasi Baru Pembatik Blora
Kamis, 31 Desember 2009 | 08:56 WIB
Mbah Bibit (92), warga Kelurahan Mlangsen, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora, adalah generasi pembatik Blora yang terakhir. Dia dan para perajin batik di Mlangsen dan Beran berhenti membatik sejak 1960-an.
"Waktu itu kami tidak punya modal dan pembeli karena para pengusaha Tionghoa, sang pemberi modal sekaligus pembeli, tidak lagi aktif berdagang batik," kata Mbah Bibit di Blora, Selasa (29/12).
Walau berusia senja, berjalan tertatih-tatih, dan sudah ompong, ingatan Mbah Bibit tentang batik masih tajam. Menurut dia, pengusaha Tionghoa Blora memberi para perajin kain mori, pola batik, dan malam atau lilin.
Mereka meminta perajin membatik sesuai pola yang motif batik yang diberikan. Caranya, dengan mengeblat pola motif batik. Jika hasil batikan halus, perajin mendapat tiga ece atau sama dengan 30 sen. Jika kasar, hanya mendapat 1-2 ece.
"Kami biasa membatik kain mori untuk bahan baku udeng, jarik, dan blangkon," kata Mbah Bibit yang lahir di Lasem, Rembang.
Ketika ditanya tentang motif, Mbah Bibit menggambarkan motif-motif batik Blora dengan jari di telapak tangannya yang keriput. Motif-motif itu umumnya sama dengan motif batik Surakarta, yaitu kembang manggar, semen romo (sulur-sulur kembang), dan lar (bulu).
Meski sejak tahun 1960 Blora tidak ada perajin batik, Pemerintah Kabupaten Blora berupaya melestarikan batik. Mereka membuat motif batik khas Blora, motif daun jati dan mustika. Kedua motif itu mengandung filosofi hidup dan etos kerja.
Kepala Bidang Pos Komunikasi dan Informasi Dinas Informasi dan Komunikasi Kabupaten Blora Sukarjo mengatakan, pada 2008, pemerintah membuat batik motif daun jati. Motif itu simbol wilayah Kabupaten Blora yang hampir 60 persen luasannya adalah hutan jati.
"Kami mengangkat pesan pelestarian lingkungan hidup, terutama jati," kata Sukarjo.
Pada 2009, pemerintah mendesain batik mustika. Batik itu mengusung semua kekhasan Blora, yakni barongan, kilang minyak, tayub, daun jati, sate, dan Sedulur Sikep atau Samin.
"Barongan dan tayub menyiratkan pesan pelestarian budaya dan tradisi, kilang minyak adalah simbol pelestarian sumber daya alam, sate sebagai kuliner khas Blora, dan Sedulur Sikep merupakan satu-satunya komunitas di Blora yang memegang teguh prinsip-prinsip hidup, alam, dan moral," kata Sukarjo.
Menurut Sukarjo, seluruh pegawai negeri sipil (PNS) Kabupaten Blora diwajibkan mengenakan batik itu sesuai waktu yang ditentukan. Batik motif daun jati dipakai setiap Kamis pertama, sedangkan motif mustika setiap kali ada pelantikan pejabat atau penyambutan tamu dari luar daerah.
Selain itu, Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Kabupaten Blora berupaya membangkitkan kembali generasi pembatik. Caranya, menggelar pelatihan membatik bagi para ibu.
Kepala BP3AKB Suryanto mengatakan, kaum ibu itu sama sekali buta soal dasar-dasar keterampilan membatik. Mereka mulai dari nol sehingga membatik dengan mencontoh pola yang digambar atau disalin.
"Ke depan kami berharap ada sejumlah peserta yang mau mengembangkan usaha batik khas Blora. Pemerintah akan berupaya membantu pengembangan usaha itu," kata Suryanto. (HENDRIYO WIDI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar