Kamis, 18 Juni 2009

Radar Bojonegoro _TAYUB BLORA


[ Kamis, 18 Juni 2009 ]

Dian Riska Safira, Penari Tayub Remaja di Blora

Belajar Tayub dari Ayah, Penghasilan Capai Jutaan Per Bulan

Menekuni dunia seni adalah pilihan. Itu pula yang dijalani Dian Riska Safira. Penari tayub yang masih berusia 17 tahun ini memilih tidak melanjutkan sekolahnya dan memilih menekuni dunia tayub. Penghasilannya pun jutaan rupiah per bulan.

SRI WIYONO,Blora

---

Rumah tembok besar di Dukuh Kalirejo Desa/Kecamatan Banjarejo itu kelihatan sepi kemarin pagi (17/6). Pintu rumah itu masih tertutup. Ketika tahu ada orang yang datang, seorang lelaki setengah baya bergegas membuka pintu rumah dari kayu. Lelaki ini memakai kaus abu-abu dan bercelana pendek. Dia adalah Sutarno atau yang lebih ke kenal dengan sebuatn Gepeng, sang pemilik rumah.


Ketika tahu kedatangan tamunya untuk menemui putrinya, Dian Riska Safira, Gepeng lantas masuk ruang tengah.''Maaf dia belum bangun, tadi malam sampai jam 02.00 baru pulang,'' ujar Gepeng memberitahukan kalau anak ragilnya yang berprofesi sebagai penari tayub itu masih tidur.


Dari ruang tamu diisi dengan kursi kayu terdengar bapak tiga anak ini membangunkan putrinya. Setelah berkali-kali dibangunkan, sang anak baru bangun. Setelah cuci muka dan merapikan rambutnya, Riska, begitu dia biasa dipanggil menemui para tamunya ini.''Maaf, suara saya serak,'' katanya mengawali pembicaraan

Menurut gadis kelahiran 1992 tersebut, menjadi penari tayub adalah pilihannya. Ketika ditanya cita-citanya pun, gadis yang mengaku hanya lulusan SDN di kampungnya itu ingin mengembangkan kesenian tayub. Karena menurut pengakuan bapaknya, Riska sudah tidak ingin sekolah lagi. ''Saya suruh sekolah dia tidak mau,'' kata Gepeng.


Kecintaan Riska pada dunia seni memang tanpa alasan. Karena darah seni dia warisi dari kedua orang tuanya. Gepeng, adalah seniman ketoprak yang kemudian alih profesi menjadi pembaca acara atau pramugari di dalam pertunjukan tayub. Sedangan sang istri Sudasmi juga seniman ketoprak. ''Ketemunya ya pas main ketoprak bareng,'' ungkapnya.


Namun, dari tiga anaknya, tutur Gepeng, hanya Riska yang berminat di dunia seni. Sebab, dua kakaknya tidak ada yang meneruskan bakat orantuanya. Anak pertamanya, aku Gepeng lelaki yang menjadi sales buku dan tinggal di Kecamatan Kunduran. Sedangkan anak keduanya ikut suaminya di Tasikmalaya Jawa Barat. Karena itu, hanya Riska yang masih menemaninya di rumah. ''Dia sejak kecil sudah biasa saya ajak manggung,'' katanya.

Di pementasan ketoprak, Gepeng main sebagai lawak. Karena itu, pula saat Riska masih kelas 4 SD sudah diajak main. Kala itu, Riska hanya kebagian sebagai pemanis penampilan. Namun, dari penampilan itu, mental Riska terasah, sehingga tidak canggung lagi pentas di lihat banyak orang. ''Kalau dia murni sebagai penari tayub sejak lulus SD tahun 2004,'' urainya.


Kala itu, kata Gepeng, menjadi seniman ketoprak tidak menjanjikan. Honor sekali main hanya sekitar Rp 15 ribu. Karena itu, setelah Riska menjadi penari tayub dan mulai memperoleh penghasilan, Gepeng diminta berhenti bermain ketoprak. Sehingga Gepeng kemudian menjadi pembawa acara di arena tayub dengan bayaran Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu sekali pentas.''Rata-rata lima kali mentas dalam sebulan,'' akunya.


Dari mana Riska belajar menayub ? Menurut Gepeng, anaknya banyak belajar dari VCD tayub yang banyak di jual di pasaran. Selain itu, Gepeng juga sering mengajari anaknya itu gerakan-gerakan tari. Bahkan, tak jarang bapak anak ini tampil bareng dalam satu pementasan. Hampir tiap hari Riska memutar VCD untuk mengasah kemampuannya. Karena itu, tak heran saat ini dia menjadi salah satu penari tayub yang laris. Dalam sebulan rata-rata dia bisa 15-20 kali naik pentas, dengan bayaran Rp 300 ribu-Rp 400 ribu sekali pentas. Karena itulah dia saat ini bisa membantu ekonomi kedua orang tuanya. Meski begitu, Riska masih nampak sederhana ketika di luar pentas.


Ketika tidak ada jadwal pentas, dia juga mau membantu orang tuanya di dapur. Kalau masih ada waktu, dia juga belajar nayub bersama bapaknya di ruangan tengah rumahnya. Saking seringnya mentas, dia terkadang kehabisan suara. Karena itu, untuk menjaga suaranya agar tetap merdu dan tubuhnya tetap bugar, sang ibu selalu membuatkan jamu ketika akan mentas. Jamu itu berupa beras kencur. Juga madu dan jeruk nipis. Jamu itu selama ini mampu menjadikan kebugara sang penari tetap terjaga, meski harus mentas sampai malam hari. ''Kalau mau berangkat ya ibunya yang menyiapkan keperluannya. Sedangkan saya bertugas ngojek, mengantarkan ke lokasi pementasan,'' tandas Gepeng. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar