[ Jum'at, 29 Januari 2010 ]
Empat Pejabat DPU Diklarifikasi
Empat Pejabat DPU Diklarifikasi
BLORA - Janji Kejaksaan Negeri (Kejari) Blora untuk memanggil empat pejabat di Dinas Pekerjaan Umum (DPU) setempat dibuktikan.
Kemarin, empat pejabat di dinas tersebut didatangkan untuk diklarifikasi mengenai persoalan proyek-proyek yang kualitasnya rendah. Empat pejabat yang masing-masing memegang jabatan kepala seksi itu berinisial JM, MY, SP, dan SH. ''Kami belum pada pimpinannya, namun memanggil mereka yang namanya masuk dalam dokumen proyek,'' ujar Kasi Pidsus Fitroh Rohcahyanto, kemarin.
Keempat orang ini kemarin nampak diklarifikasi di ruangan kerja Kasi Pidsus. Mereka sudah menandatangani dokumen proyek. Di antaranya, menyebutkan bahwa proyek itu sudah selesai. ''Kami tanyakan, dari sisi mana mereka bisa menilai proyek itu selesai dengan kondisi yang sesuai. Padahal, kenyataan kualitasnya rendah,'' kata dia.
Kejari, kata Fitroh, akan menangani persoalan itu secara umum. Bukan fokus pada tidak adanya pengawas di DPU. Sebab, banyak sekali proyek fisik yang kualitasnya rendah yang ditemukan saat turun lapangan. Hasil temuan itu, kata dia, akan dicocokkan dengan penjelasan dari empat orang tersebut. Dia mengatakan, di DPU ada pengawasan internal yang mengawasi pelaksanaan proyek. Fitroh ingin tahu sejauh mana pengawasan itu dilaksanakan. ''Apakah petugas pengawasnya benar-benar turun ke lapangan atau tidak, kami ingin tahu,'' ujarnya.
Kasi Pidsus belum mengatakan apakah ada indikasi penyimpangan atau tidak dalam proyek-proyek yang kualitasnya rendah tersebut. Untuk mengetahui itu, lanjut dia, perlu memelajari perencanaanya bagaimana serta perjanjian dan lainnya. Termasuk nanti akan mendatangkan ahli untuk menguji kualitas proyeknya. Sebab, yang dilihat saat ini baru yang terlihat saja. Misalnya, bangunan yang sudah retak dan rusak atau aspal jalan yang sudah mengelupas. ''Nanti kita uji material bangunannya di laboratorium sehingga diketahui kandungannya,'' tutur mantan Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejari Banyumas itu.
Langkah kejaksaan itu mendapat dukungan dari DPRD Blora. Seno Margo Utomo, salah satu pengusul hak angket kasus penunjukan pengawas proyek di DPU mengaku akan mendukung dan mengawasi langkah kejari. Dia menyebut, kebijakan yang diambil kepala DPU dalam penunjukan pengawas proyek salah. Akibatnya, dana pengawasan tidak bisa dicairkan, yang mengakibatkan tidak ada pengawasan proyek. ''Ya, salah satu imbasnya kualitas proyek remuk. Karena itu Kepala DPU memang harus bertanggungjawab,'' katanya. (ono)
Kemarin, empat pejabat di dinas tersebut didatangkan untuk diklarifikasi mengenai persoalan proyek-proyek yang kualitasnya rendah. Empat pejabat yang masing-masing memegang jabatan kepala seksi itu berinisial JM, MY, SP, dan SH. ''Kami belum pada pimpinannya, namun memanggil mereka yang namanya masuk dalam dokumen proyek,'' ujar Kasi Pidsus Fitroh Rohcahyanto, kemarin.
Keempat orang ini kemarin nampak diklarifikasi di ruangan kerja Kasi Pidsus. Mereka sudah menandatangani dokumen proyek. Di antaranya, menyebutkan bahwa proyek itu sudah selesai. ''Kami tanyakan, dari sisi mana mereka bisa menilai proyek itu selesai dengan kondisi yang sesuai. Padahal, kenyataan kualitasnya rendah,'' kata dia.
Kejari, kata Fitroh, akan menangani persoalan itu secara umum. Bukan fokus pada tidak adanya pengawas di DPU. Sebab, banyak sekali proyek fisik yang kualitasnya rendah yang ditemukan saat turun lapangan. Hasil temuan itu, kata dia, akan dicocokkan dengan penjelasan dari empat orang tersebut. Dia mengatakan, di DPU ada pengawasan internal yang mengawasi pelaksanaan proyek. Fitroh ingin tahu sejauh mana pengawasan itu dilaksanakan. ''Apakah petugas pengawasnya benar-benar turun ke lapangan atau tidak, kami ingin tahu,'' ujarnya.
Kasi Pidsus belum mengatakan apakah ada indikasi penyimpangan atau tidak dalam proyek-proyek yang kualitasnya rendah tersebut. Untuk mengetahui itu, lanjut dia, perlu memelajari perencanaanya bagaimana serta perjanjian dan lainnya. Termasuk nanti akan mendatangkan ahli untuk menguji kualitas proyeknya. Sebab, yang dilihat saat ini baru yang terlihat saja. Misalnya, bangunan yang sudah retak dan rusak atau aspal jalan yang sudah mengelupas. ''Nanti kita uji material bangunannya di laboratorium sehingga diketahui kandungannya,'' tutur mantan Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejari Banyumas itu.
Langkah kejaksaan itu mendapat dukungan dari DPRD Blora. Seno Margo Utomo, salah satu pengusul hak angket kasus penunjukan pengawas proyek di DPU mengaku akan mendukung dan mengawasi langkah kejari. Dia menyebut, kebijakan yang diambil kepala DPU dalam penunjukan pengawas proyek salah. Akibatnya, dana pengawasan tidak bisa dicairkan, yang mengakibatkan tidak ada pengawasan proyek. ''Ya, salah satu imbasnya kualitas proyek remuk. Karena itu Kepala DPU memang harus bertanggungjawab,'' katanya. (ono)
[ Jum'at, 29 Januari 2010 ]
Kader PDIP Bertahan di Jakarta
BLORA - Sebanyak 90 kader PDIP Blora yang terdiri dari pengurus 11 PAC, lima pengurus DPC, dan simpatisan masih bertahan di Jakarta.
Mereka tidak tinggal di penginapan, namun mendirikan tenda di kantor DPP PDIP. Para kader banteng moncong putih itu menyatakan tidak akan pulang sebelum tuntutan mereka terpenuhi. ''Kami tidur dan makan di tenda yang kami dirikan. Ini bentuk keprihatinan kami atas apa yang terjadi di PDIP Blora,'' ujar Bambang, salah satu koordinator pengurus PAC, melalui ponselnya kemarin.
Tuntutan yang mereka bawa adalah DPP PDIP mengawal pelaksanaan pleno PAC untuk memilih ketua DPC, DPD, dan DPP PDIP yang dilakukan di Blora. Sebab, mereka sudah tidak percaya lagi dengan pengurus DPD yang mempunyai kewenangan menggelar pleno tersebut. Sebab, pleno yang difasilitasi DPD PDIP Jateng itu dinilai menciderai demokrasi dan tidak prosedural. ''Kami juga meminta agar pleno diulang. Tuntutan ini tidak berubah,'' tegasnya.
Demokrasi, kata dia, mengajarkan budaya menghargai pendapat orang lain. Namun, yang terjadi di PDIP Blora sebaliknya. Yang tidak sependapat ditinggal dan melaksanakan pleno dengan diam-diam. Hanya, pengurus PAC yang mendukung salah satu calon saja yang diajak. Sedangkan saat pengurus PAC menyuarakan aspirasinya dan menyegel kantor DPC PDIP, menurut Bambang, ada pihak yang tidak suka. ''Kami diserang malam-malam saat kami bertahan di kantor DPC. Bagaimana hal ini bisa terjadi di alam demokrasi seperti ini,'' katanya.
Karena itu, para kader PDIP itu akan bertahan untuk memerjuangkan yang menurut mereka sebuah kebenaran untuk melaksanakan pemilihan pimpinan yang prosedural dan terbuka. (ono)
Mereka tidak tinggal di penginapan, namun mendirikan tenda di kantor DPP PDIP. Para kader banteng moncong putih itu menyatakan tidak akan pulang sebelum tuntutan mereka terpenuhi. ''Kami tidur dan makan di tenda yang kami dirikan. Ini bentuk keprihatinan kami atas apa yang terjadi di PDIP Blora,'' ujar Bambang, salah satu koordinator pengurus PAC, melalui ponselnya kemarin.
Tuntutan yang mereka bawa adalah DPP PDIP mengawal pelaksanaan pleno PAC untuk memilih ketua DPC, DPD, dan DPP PDIP yang dilakukan di Blora. Sebab, mereka sudah tidak percaya lagi dengan pengurus DPD yang mempunyai kewenangan menggelar pleno tersebut. Sebab, pleno yang difasilitasi DPD PDIP Jateng itu dinilai menciderai demokrasi dan tidak prosedural. ''Kami juga meminta agar pleno diulang. Tuntutan ini tidak berubah,'' tegasnya.
Demokrasi, kata dia, mengajarkan budaya menghargai pendapat orang lain. Namun, yang terjadi di PDIP Blora sebaliknya. Yang tidak sependapat ditinggal dan melaksanakan pleno dengan diam-diam. Hanya, pengurus PAC yang mendukung salah satu calon saja yang diajak. Sedangkan saat pengurus PAC menyuarakan aspirasinya dan menyegel kantor DPC PDIP, menurut Bambang, ada pihak yang tidak suka. ''Kami diserang malam-malam saat kami bertahan di kantor DPC. Bagaimana hal ini bisa terjadi di alam demokrasi seperti ini,'' katanya.
Karena itu, para kader PDIP itu akan bertahan untuk memerjuangkan yang menurut mereka sebuah kebenaran untuk melaksanakan pemilihan pimpinan yang prosedural dan terbuka. (ono)
[ Jum'at, 29 Januari 2010 ]
Investasi PI Blok Cepu Membengkak
BLORA - Investasi yang harus dikeluarkan Pemkab Blora melalui PT Blora Patragas Hulu (BPH) sebagai perusahaan daerah yang menangani dana PI Blok Cepu membengkak.
Pembengkakannya hampir tiga kali lipat. Karena itu, investor yang digandeng PT BPH, yakni PT Anugerah Bangun Sarana Jaya (ABSJ) harus merogoh kocek lebih banyak lagi. Dari semula Rp 500 miliar, kini duit yang harus disiapkan PT ABSJ membengkak jadi Rp 1,3 triliun.
Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat yang dilakukan Komisi B DPRD Blora dengan PT BPH. Dirut BPH Christian Prasetya menerangkan secara detail persoalan yang dihadapi PT BPH dan Pemkab Blora secara umum dalam persoalan tersebut. ''Akibat molornya produksi, biaya yang harus ditanggung memang membengkak. Imbasnya juga ke kami sebagai daerah penyerta modal,'' ujar Christian.
Dia juga menerangkan segala kemungkinan yang bisa terjadi jika persoalan pendanaan itu berlarut. Sementara, pendapatan yang diterima dari penyertaan modal dalam PI masih sangat kecil. Selama pengelolaan ladang minyak di Blok Cepu sejak 2006 silam, baru pada September lalu sumur minyak tersebut produksi. Dari produksi itu, kata dia, Blora sudah menerima pendapatan Rp 5,4 miliar. Sedangkan Pemprov Jateng menerima sekitar Rp 2,7 miliar. Hanya, menurut Chris, jumlah itu adalah pendapatan kotor. Sebab, masing-masing perusahaan daerah yang menjadi peserta PI harus menyetorkan dana lagi untuk cost recovery atau pengembalian modal yang sudah dikeluarkan ExxonMobil selaku operator Blok Cepu. ''Untuk Blora saja harus setor Rp 4,3 miliar. Selain itu, dipotong pajak dan lainnya. Jadi, pendapatan kita selama ini tak lebih dari Rp 500 juta,'' ungkapnya.
Hal itu sangat tidak sebanding dengan dana yang sudah dikeluarkan. Menurut Christian, Sejak 2006 hingga kini, PT BPH melalui PT ABSJ yang menjadi partner sudah mengeluarkan sekitar Rp 150 miliar. Di sisi lain, dia juga 'menggugat' Pemkab Blora sebagai pemilik saham PI yang belum menyetorkan modal awal kepada PT BPH. Sebab, dalam aturannya pemkab harus menyetor dana Rp 2 miliar ke PT BPH. ''Namun, kenyatannya sampai saat ini baru Rp 500 juta yang sudah disetor. Kami sudah berkali-kali menagih, tapi memang pemkab tidak punya banyak uang,'' tandasnya.
Ketua Komisi B, Subroto mengatakan, pihaknya memanggil PT BPH untuk mendapat penjelasan secara rinci mengenai perkembangan PI Blok Cepu. ''Karena yang di luar sana tahu, masak kita yang punya lahan minyaknya malah tidak tahu,'' katanya. (ono)
Pembengkakannya hampir tiga kali lipat. Karena itu, investor yang digandeng PT BPH, yakni PT Anugerah Bangun Sarana Jaya (ABSJ) harus merogoh kocek lebih banyak lagi. Dari semula Rp 500 miliar, kini duit yang harus disiapkan PT ABSJ membengkak jadi Rp 1,3 triliun.
Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat yang dilakukan Komisi B DPRD Blora dengan PT BPH. Dirut BPH Christian Prasetya menerangkan secara detail persoalan yang dihadapi PT BPH dan Pemkab Blora secara umum dalam persoalan tersebut. ''Akibat molornya produksi, biaya yang harus ditanggung memang membengkak. Imbasnya juga ke kami sebagai daerah penyerta modal,'' ujar Christian.
Dia juga menerangkan segala kemungkinan yang bisa terjadi jika persoalan pendanaan itu berlarut. Sementara, pendapatan yang diterima dari penyertaan modal dalam PI masih sangat kecil. Selama pengelolaan ladang minyak di Blok Cepu sejak 2006 silam, baru pada September lalu sumur minyak tersebut produksi. Dari produksi itu, kata dia, Blora sudah menerima pendapatan Rp 5,4 miliar. Sedangkan Pemprov Jateng menerima sekitar Rp 2,7 miliar. Hanya, menurut Chris, jumlah itu adalah pendapatan kotor. Sebab, masing-masing perusahaan daerah yang menjadi peserta PI harus menyetorkan dana lagi untuk cost recovery atau pengembalian modal yang sudah dikeluarkan ExxonMobil selaku operator Blok Cepu. ''Untuk Blora saja harus setor Rp 4,3 miliar. Selain itu, dipotong pajak dan lainnya. Jadi, pendapatan kita selama ini tak lebih dari Rp 500 juta,'' ungkapnya.
Hal itu sangat tidak sebanding dengan dana yang sudah dikeluarkan. Menurut Christian, Sejak 2006 hingga kini, PT BPH melalui PT ABSJ yang menjadi partner sudah mengeluarkan sekitar Rp 150 miliar. Di sisi lain, dia juga 'menggugat' Pemkab Blora sebagai pemilik saham PI yang belum menyetorkan modal awal kepada PT BPH. Sebab, dalam aturannya pemkab harus menyetor dana Rp 2 miliar ke PT BPH. ''Namun, kenyatannya sampai saat ini baru Rp 500 juta yang sudah disetor. Kami sudah berkali-kali menagih, tapi memang pemkab tidak punya banyak uang,'' tandasnya.
Ketua Komisi B, Subroto mengatakan, pihaknya memanggil PT BPH untuk mendapat penjelasan secara rinci mengenai perkembangan PI Blok Cepu. ''Karena yang di luar sana tahu, masak kita yang punya lahan minyaknya malah tidak tahu,'' katanya. (ono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar